Indonesia 0-4 Thailand; Remuk Digempur Gajah

(AFF 2020)

Khayalak pecinta timnas Indonesia kembali diempaskan ke bumi dan bersemuka dengan realitas sesungguhnya. Keyakinan bermodalkan 4 kemenangan dan dua kali draw, serta status juara fase grup, ternyata tak cukup untuk menandingi Thailand. Indonesia menyerah 0-4 pada leg pertama final Piala AFF 2020 tadi malam.

Kecewa sudah barang tentu, walau ini bukan yang pertama. Memang belum paripurna karena masih ada leg kedua. Kans untuk juara belum tertutup meski sangat-sangat kecil, jika tak tega menyebut mustahil. Bahkan pelatih Shin Tae-yong (STY) pesimistis kendati dia dan pasukan mudanya belum lempar handuk. STY mengatakan apapun bisa terjadi pada leg kedua karena bola itu bundar. Sebuah komentar yang cukup klise. Ya begitulah, realitas dan logika memang menyatakan Indonesia harus rela jadi runners-up keenam kalinya di AFF, tapi bisa juga juara jika semesta berkehendak menghadirkan keajaiban.

Secara realitas dan logika, timnas Indonesia memang sulit untuk memecah telur juara di turnamen regional AFF. Perjalanan Asnawi Mangkualam dkk secara umum tak jauh berbeda dengan para seniornya yang juga mentok di lima edisi Piala AFF terdahulu. Mereka memang bisa disebut menyenangkan karena meraih 4 kemenangan dengan total 18 gol –paling tajam di antara semua tim. Namun bermain sepak bola bukan cuma urusan mencetak gol. Ada pula tugas bertahan. Dari seluruh laga sebelum menghadapi Thailand, skuad Garuda belum pernah clean sheet –kecuali bermain 0-0 dengan Vietnam di fase grup. Di AFF, Indonesia kerap menjanjikan di awal –tapi itu cuma “fatamorgana”. Karena pada akhirnya, yang paling penting adalah penampilan apik dan pertahahan yang kokoh di final –ironisnya di fase ini Indonesia selalu tersandung. Padahal seperti pernah disebut Sir Alex Ferguson, defence wins you titles.

Final memang identik dengan mental juara. Siapa tangguh dia punya kans juara. Tapi mental, kerja keras, dan semangat membara serta harapan bahkan doa belumlah cukup. Itu hanya barisan faktor pertama sebelum diikuti faktor kedua yang tak kalah pentingnya; permainan di lapangan. Dalam pertandingan tadi malam, Indonesia kalah dalam hal mental dan permainan. Gol pertama Thailand saat pertandingan baru berjalan 2 menit jelas menggoyahkan mental para pemain Indonesia. Tim Merah Putih memang pernah ketinggalan lebih dulu dari Malaysia sebelum berbalik menang telak 4-1. Tapi itu terjadi di fase grup yang bebannya tidak seberat di final.

Dan lawan yang dihadapi di final adalah Thailand, gajah perang langganan juara Piala AFF. Mereka sangat siap begitu menginjak partai puncak, baik mental maupun teknis permainan. Mereka sanggup menaikkan level permainan text book nan efektif di fase grup dan semifinal menjadi agresif nan menakutkan di partai puncak. Gambaran dan bangunan permainan Thailand sudah seperti di level elite (klub) Eropa, tentu beda kastanya. Thailand bermain sesuai dengan prinsip-prinsip kekinian. Trio pemain dalam shape segitiga, aliran operannya (triangular passes), dan counter pressing-nya sangat cepat. Para pemain Thailand pun begitu paham ruang. Daerah mana yang perlu diisi dan area mana yang harus ditutup secepat mungkin. Thailand pun ahli melepaskan diri dari tekanan (pressing) lawan, “hanya” dengan menggunakan rondo —shape segitiga antara lain untuk itu. Terakhir, Chanatip Songkrasin dkk sudah selesai dengan urusan skill dasar. Misalnya, simaklah Thailand begitu stabil mencatat rerata akurasi operan selama AFF 2020 di sekitar 85%. Tadi malam, Indonesia mencatat operan yang tepat hingga 72%. Akurasi pun termasuk tembakan on target Thailand yang mencapai 9 attempts — 4 menjadi gol dan 5 sisanya dimentahkan kiper Indonesia, Nadeo Argawinata. Jumlah tembakan on target itu setengah dari total upaya yang dilakukan Thailand.

(AFF 2020)

Pölking Unggul Strategi

Atribut dasar para pemain Thailand yang sudah paripurna itu kemudian dilengkapi oleh strategi dan taktik yang jitu dari pelatih Alexander Pölking. Pelatih Jerman-Brasil itu dengan jeli membuat instruksi overload di kedua sayap, terutama pada babak pertama. Strategi ini langsung membuahkan hasil ganda sekaligus; serangan Indonesia yang memang selalu dibangun lewat sayap menjadi buntu dan sebaliknya Thailand bisa menyusun serangan akhir dari sana. Tiga dari 4 gol Thailand kebetulan diawali oleh serangan di sayap –2 dari kanan dan 1 dari kiri. Lagi-lagi, taktik ini melengkapi skill dan kualitas pemahaman para pemain Thailand. Taktik bagus tapi tidak dijalankan dengan baik tentu tidak akan berhasil. Pölking pun menegaskan bahwa melatih Thailand bukan tugas berat karena materinya sudah tersedia. Sebaliknya bagi pelatih Indonesia, bukan cuma STY.

Sebaliknya di sisi Indonesia. Untuk pertama kalinya di AFF 2020, strategi STY tidak cukup jelas atau minimal tidak berjalan. Saya juga heran mengapa STY rutin mengganti pemain belakang begitu masuk babak kedua, apakah itu terkait stamina si pemain atau semata hanya demi taktik. Untuk pertama kali pula di edisi 2020 ini, Indonesia terus menerus berada di bawah tekanan. Upaya untuk melepaskan beban itu kerap gagal terus. Meski begitu, Indonesia sebenarnya punya dua peluang emas –via Alfreanda Dewangga yang melambung pada babak pertama dan Irfan Jaya yang berhasil disapu kiper Siwarak Tedsungnoen pada babak kedua. Dus, hanya berhenti di peluang karena ternyata ketajaman akurasi tembakan mereka menguap pada partai final nan penting. Ini bukti bahwa skill dasar mengeksekusi peluang dari pemain Indonesia masih di bawah Thailand, terutama di laga yang krusial.

Lantas, saya tak tahu apakah STY sudah mengupayakan perbaikan pertahanan yang kelihatan sekali penuh celah bagi Thailand, terutama di babak pertama. Tiga gol Thailand sudah jelas hasil dari ruang kosong di pertahanan Indonesia. Para pemain Indonesia selalu turun hingga mendekati gawang ketika Thailand menyerang sehingga ada ruang kosong di dalam atau di depan kotak penalti. Dengan akurasi tembakan yang jitu, ruang kosong di half space ini tentu saja makanan gratis bagi Thailand.

Ruang kosong di dalam kotak penalti Indonesia yang dimanfaatkan Chanathip untuk membuka keran gol Thailand (AFF 2020)

Khalayak luas mungkin maklum karena Indonesia tampil dengan tim yang rerata usianya 23,7 tahun. Atau seperti diungkap STY, banyak pemainnya yang baru kali ini masuk final. Itu betul, Namun sebelum ini banyak pemain Indonesia dan bahkan senior yang setidaknya pernah dua kali merasakan final Piala AFF tapi tetap gagal juara.

Persoalannya tetap sama seperti para pendahulunya di edisi 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016. Skill para pemain Indonesia yang terbatas dari generasi ke generasi belum cukup untuk menghadirkan gelar juara. Itu pun jika mencontoh pernyataan Nyai Ontosoroh –tokoh legenda di cerita Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, Agustus 1980), mereka sudah memberikan perlawanan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Tapi sayangnya, sekali lagi, bermodalkan perlawanan gagah berani dan tekad kuat belum cukup untuk menjuarai sebuah ajang.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.