Indonesia vs Kamboja, 2-1 Tidak Mengherankan

Indonesia menundukkan Kamboja 2-1/AFF Mitsubishi Electric Cup/Youtube

Indonesia memulai AFF 2022 dengan kemenangan 2-1 atas Kamboja di laga Grup A, kemarin malam. Keunggulan sekaligus tiga poin tentu patut disyukuri, tapi tidak dengan cara meraihnya atau jalan ceritanya. Meski begitu, bagi saya, skor 2-1 di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, itu tidaklah mengherankan. Kenapa?

Pertama, timnas Indonesia hampir tak pernah main apik jika melihat dari sudut teknis dan pakem sepak bola yang lazim. Bahkan di laga kemarin malam, justru Kamboja yang mampu bermain dengan pakem lazim. Pakem itu maksudnya adalah bagaimana kolektivitas tim, bangunan zonal, rest defence, transisi dari bertahan ke menyerang dan sebaliknya, serta kemampuan dasar yang memadai. Saya tak menghitung persis, tapi sependek ingatan hanya sedikit kesalahan operan dari anak-anak asuhan Ryu Hirose. Indonesia? Kita semua tahu bagaimana kualitas operan para pemain secara keseluruhan. Bahkan gol balasan Kamboja semalam juga secara tak langsung dipicu oleh umpan blunder pemain Indonesia di daerah pertahanan. Indonesia juga “punya label” menang dengan cara jelek (ugly win) selama ini. Itu sebabnya tim Garuda selama ini bisa menang dengan banyak gol atas Kamboja, Laos, Flipina, atau Myanmar, tapi selalu kalah atau draw dari Thailand dan Vietnam.

Kedua, hasil 2-1 atas Kamboja sebenarnya meneruskan catatan kemenangan Indonesia di laga pertama turnamen AFF. Dari 13 hajatan AFF terdahulu, Indonesia sempat 4 kali beruntun gagal menang (draw 3 kali dan kalah sekali) di laga pertama grup sebelum di event 2021 menang 4-2 atas Kamboja. Dari 4 kali beruntun gagal menang di laga perdana pada 2012, 2014, 2016, dan 2018 itu Indonesia justru bisa melaju ke final satu kali (2016) meski lagi-lagi hanya bisa mengabadikan status nyaris juara. Jadi, saya sesungguhnya tak pusing dengan hasil menang atau draw, atau kalah di laga perdana karena Argentina pun bisa juara dunia 2022 usai kalah dari Arab Saudi di partai pertamanya. Atau Malaysia yang dibantai Indonesia 1-5 di laga perdana Piala AFF tapi pada akhirnya juara dengan menumbangkan tim Merah Putih di final pada 2010.

Hasil atau skor di grup penyisihan untuk menghitung laju Indonesia untuk ke final atau juara sesungguhnya juga tak bisa jadi patokan mati. Indonesia punya catatan 6 kali ke final AFF Championship, terbanyak dibanding semua negara di Asia Tenggara. Dari 6 kali finalis (tanpa sekalipun juara itu), Indonesia hanya 4 kali melaju ke partai puncak dari titik sebagai juara grup penyisihan (1996, 2004, 2010, dan 2021). Bahkan pada 1996, Indonesia cuma berakhir di posisi 4 setelah melaju dari posisi juara grup penyisihan. Jadi, juara atau runners up grup bukan patokan sebuah tim untuk gagal atau berhasil juara.

Hitungan untuk menentukan lolos dari grup memang penting. Apalagi di AFF Championship, penentuan sebuah tim untuk lolos dari grup (tie breakers) adalah poin – selisih gol – dan total gol yang dicetaknya selama laga grup. Wajar apabila khalayak khawatir Indonesia akan kalah produktif dari Flipina yang sudah memiliki selisih +3 gol (7-4) dari 2 pertandingan di Grup A. Artinya, Indonesia dituntut menang sangat besar atas Brunei di laga kedua (26/12) — di atas skor kemenangan 5-1 Filipina atas tim terlemah di Asia Tenggara itu.

Ketiga. Di sinilah pentingnya sebuah cerita perjalanan tim. Skor 2-1 Indonesia atas Kamboja tentu sangat buruk dari sisi permainan dan efektivitasnya. Intinya, tidak menjanjikan. Pasukan Shin Tae-yong bukannya fakir peluang. Bahkan Indonesia punya 2 momen one on one dengan kiper Kamboja, Keo Soksela. Tapi Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman tak kuasa menjebol gawang Kamboja dari situasi itu sehingga gagal menambah koleksi golnya di laga kemarin malam. Secara keseluruhan, Indonesia tidak tenang bermain. Suara publik menilai itu disebabkan banyak pemain yang sudah libur berkompetisi sejak Liga 1 ditangguhkan usai tragedi berkalung 135 nyawa penonton di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022. Bisa jadi ini logis, tapi tidak bagi sebagian pemain. Misalnya, Egy dan Witan yang berkarier di Liga Slovakia tidak libur kompetisi dalam kurun 1 Oktober 2022 hingga menjelang pemusatan latihan timnas Indonesia.

Yang jelas, permainan Indonesia yang selama ini kelihatan kurang nyetel adalah lantaran jarang bertanding dalam satu kelompok. Bahkan sangat jarang. Sekalinya melakukan latih tanding, langsung dibesar-besarkan. Buktinya, manajemen timnas pun tidak mampu menyediakan lawan latih tanding menjelang Piala AFF 2022. Saya pikir Indonesia adalah satu-satunya yang abai melakukan laga pemanasan sebelum tampil di turnamen. Kerugiannya sangat besar. Yang terutama adalah tak bisa mengukur kemajuan para pemain setelah melakoni program latihan dan tidak bisa mencatat kekurangan para pemain yang harus segera dibenahi. Ini yang saya maksud bahwa tata kelola dan praktik sepak bola Indonesia tidak lazim. Bila dengan cara seperti itu bisa juara sih baik, tapi ini justru gagal terus. Dus, kok diperlihara?

Alhasil, dari permainan Indonesia melawan Kamboja kemarin malam, catatan minusnya lumayan banyak. Antara lain level stamina yang kembali ke setelan pabrik, relatif kuat hanya sampai menit 70. Ini sebabnya STY biasa mengganti sejumlah pemainnya di half time, seperti juga kemarin malam. Pemain debutan Jordi Amat yang canggung berduet dengan Fachruddin di jantung pertahanan meski sang pemain naturalisasi itu mampu mengambil peran sebagai pemasok bola pertama dalam proses build up dengan cukup baik. Ini sebenernya juga bukan hal yang mengejutkan lantaran baru kemarin malam mereka berduet. Di laga kompetitif pula. Kemudian peran striker yang lebih banyak sebagai decoy atau pemantul atau penyuplai bola akhir ketimbang sebagai target man. Ini memang urusan strategi. Tapi level permainan Ilija Spasojevic jauh dari apik karena dirinya sebagai striker justru lebih sering bermanuver atau bergerak di luar final 3rd. Saya tidak yakin itu adalah murni instruksi STY. Kendati begitu, Spaso tak bisa disalahkan 100 persen karena dia memang perlu juga mencari bola dengan cara menjemputnya lebih ke bawah.

Sebenarnya catatan minus itu juga bukan hal baru di timnas Indonesia, khususnya di era STY. Sebagai contoh, timnas Indonesia punya organisasi permainan yang relatif ok di AFF 2020 sampai kalah di final dari Thailand. Namun, kemudian publik kaget tatkala organisasi permainan yang relatif baik itu bubar jalan ketika timnas Indonesia tampil di kualifikasi Piala Asia 2023. Masih untung Indonesia bisa lolos ke putaran final di Qatar tahun depan. Jadi, permainan buruk Indonesia di laga perdana sebuah turnamen atau kualifikasi bukan hal baru — terlepas apapun hasilnya. Ini memang problem klasik teknis sepak bola Indonesia. Pelatih timnas Indonesia harus menghabiskan waktunya untuk memoles level para pemainnya karena datang dari klub dengan standar teknis yang jauh di bawah standar –bahkan sampai urusan stamina.

Terakhir, pertanyaannya tetap apakah Indonesia bisa melaju dari grup atau yang lebih utama lagi apakah bisa menghentikan dahaga juara di Asia Tenggara yang sudah terjadi 26 tahun (dalam konteks Piala AFF). Jawabannya tentu saja bersifat relatif. Sejauh mana STY dan para pemainnya bisa bangkit serta memperbaiki diri dengan cepat. Saya tentu akan senang sekali bila timnas Indonesia bisa juara di Piala AFF 2022 ini, tapi seperti biasa –saya tak pernah berharap.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.