Kenapa Skill dan Sinar Pemain Indonesia Mudah Pudar

Pemain Indonesia kekurangan durasi latihan, skill pun terpengaruh. (EA Sports FIFA/CC BY-NC-ND 2.0)

Rasa penasaran saya rupanya juga dialami oleh beberapa orang di Twitter. Kami sama-sama heran mengapa pemain Indonesia mudah turun pamor alias skill-nya cenderung turun relatif cepat. Dengan kata lain, seorang pemain Indonesia yang sempat berstatus bintang, statusnya hanya bertahan selama 2-3 musim atau tahun.

Atau lihatlah di timnas. Seorang pemain yang sempat menjadi pemain inti, tak lama kemudian menghilang. Boro-boro dimainkan, dipanggil untuk mengikuti seleksi pun belum tentu.

Pemanggilan pemain ke timnas memang tidak melulu karena skill dan recent form. Bisa saja pelatih tak suka dengan gaya bermainnya, sebuah faktor like and dislike yang biasa melekat pada arsitek timnas. Tapi timnas juga punya sekelompok pemain yang langganan, walau pelatih berganti karena skill mereka bertahan di level atas cukup lama. Ini bisa kita lihat melalui materi timnas-timnas mapan dunia, bahkan setidaknya era timnas Indonesia pada 90-an atau awal 2000-an.

Di luar timnas, top of mind terhadap pemain tertentu di liga juga bisa menjadi ukuran (benchmark). Dulu seorang pemain bisa bertahan menjadi satu di antara yang ngetop dan menjadi pembicaraan. Tapi dalam waktu relatif cepat, pamor dan skill sang pemain justru turun ke level semenjana atau setara dengan pemain kebanyakan.

Sebenarnya ada sisi positif juga, ketika seorang bintang lokal meredup dan digantikan oleh pemain yang lebih baru. Artinya talenta tak pernah lelah bermunculan. Lihatlah di Piala Menpora 2021 lalu ketika sejumlah pemain baru mengundang decak kagum.

Tapi sebagian dari mereka boleh jadi bakal digantikan lebih cepat oleh generasi selanjutnya. Persis seperti siklus yang sudah dialami oleh para kakaknya.

Artinya ada ketahanan skill yang cukup lemah. Padahal talenta yang baru hadir bisa menghadirkan persaingan sengit andai kakak-kakak mereka juga masih berada di level skill cukup cakap. Namun yang terjadi hanya sebuah pergantian, mati satu tumbuh seribu.

Ini juga bisa dilihat di kalangan pemain asing Liga Indonesia. Pemain yang relatif baru datang atau menjalani musim perdana atau keduanya di Indonesia akan kelihatan sangat hebat serta kerap menjadi penentu kemenangan/permainan. Tapi begitu memasuki musim ketiga, kebanyakan pemain asing kehilangan daya magisnya dan seolah-olah kita percuma menggajinya cukup mahal.

Contoh paling bagus untuk menggambarkan situasi itu adalah ketika Arema FC merekrut duo timnas Singapura, Noh “Along” Alam Shah dan Muhammad Ridhuan. Kedua pemain ini sempat ikut mengantar Singo Edan juara Liga Indonesia 2010. Tapi mereka sempat pula tidak lagi dipercaya timnas negaranya. Ketika itu pelatih Radojko Avramovich menilai skill Along dan Ridhuan menurun.

Kapan latihannya

Saya mencari jawaban atas kondisi ini selama bertahun-tahun (saya memang mudah penasaran pada sepak bola). Apakah ini peran pelatih, lapangan, iklim dan cuaca, kompetisi, federasi, karakter fisik orang Indonesia, metode latihan, dan sebagainya.

Hasil analisis saya menunjukkan satu di antara penyebabnya adalah iklim kompetisi yang tak cukup kondusif untuk menunjang skill.

Klub-klub Liga Indonesia lazim menjalani konfigurasi jadwal pertandingan dua kali sepekan karena Liga Indonesia gemar menggelar matchdays nyaris seminggu penuh. Ini memang keunikan tersendiri, tapi juga punya kelemahan yang cukup merugikan untuk khazanah permainan secara keseluruhan.

Di liga-liga yang sudah mapan, jadwal tengah minggu biasanya dibatasi cuma maksimal enam kali dalam semusim. Maklum, liga juga perlu berkompromi dengan jadwal kompetisi regional (benua), piala domestik, atau FIFA International Break.

Persoalan bagi Liga Indonesia memang lebih komplek. Ukuran negara yang luas membuat jarak tempuh klub saat bertandang menjadi lebih lama. Bayangkan jika Persiraja Banda Aceh harus bertandang ke Persipura Jayapura dan sebaliknya. Ongkos sangat mahal, waktu tempuh pun hampir seharian.

Risiko lain dari jadwal tandang dari ujung ke ujung seperti itu adalah kondisi tim dan pemain apabila konfigurasi pertandingan dua kali seminggu.

Misalnya Persiraja punya jadwal bermain di Jayapura pada hari Minggu atau empat hari setelah memainkan partai kandang pada hari Rabu. Mereka akan berangkat paling dini pada Kamis pagi, tiba di Jayapura pada sore atau malam hari.

Artinya Persiraja cuma punya waktu spare dua hari, Jumat dan Sabtu, untuk bersiap. Pelatih biasanya tak mungkin menggelar latihan high-intensity untuk tim setelah perjalanan (jauh). Alhasil, pelatih biasanya hanya menggelar latihan recovery demi mengembalikan kondisi fisik para pemain.

Latihan yang lebih serius, misalnya tactical session walau boleh jadi bukan di tahap intensitas tinggi, hanya bisa dilakukan pada Sabtu. Jadi, dalam empat hari, para pemain hanya mengalami sesi latihan berat satu atau dua kali.

Dan persoalan porsi latihan juga terjadi ketika tim asal Jawa punya jadwal tandang di pulau yang sama. Misalnya Persib selesai bermain kandang pada Sabtu dan akan bertemu Persija di Jakarta pada Rabu.

Sudah pasti, pelatih tidak akan memberi latihan berat pada Minggu, kecuali hanya latihan kebugaran untuk pemulihan fisik dan stamina. Andai harus dilakukan, pelatih baru bisa memberi latihan berat pada Senin dan Selasa –ini pun jika tim memutuskan berangkat pada Rabu pagi karena jarak Bandung ke Jakarta yang relatif dekat, hanya maksimal 3 jam jika jalan darat.

Dan situasi masa latihan yang tak ideal ini akan berkelanjutan sepanjang musim karena tim bermain tiga hari sekali plus kegiatan perjalanan –baik pergi maupun pulang.

Alhasil pelatih harus pintar-pintar menggunakan waktu yang sempit ini. Tapi menurut saya, skill para pemain tetap tak cukup terasah karena periode latihan yang terbatas. Masih untung jika level skill pemain tidak turun, tapi dipikir-pikir kok hampir mustahil.

Porsi latihan

Carlo Ancelotti dalam buku biografinya “Quiet Leadership – Winning Hearts, Minds, and Matches” (Portfolio Penguin/2016) menunjukkan bagaimana program latihannya jika tim selesai bermain di tengah pekan seperti Liga Champions.

“Biasanya para pemain saya liburkan atau latihan ringan untuk pemulihan fisik. Berikutnya saya tak akan menggelar latihan berat karena pemain masih kelelahan (kecuali para pemain cadangan) dan hanya briefing taktik untuk pertandingan,” kata orang Italia ini, terlepas dikenal dengan cap “pelatih lembek” oleh para pemain Bayern Munchen.

Itu sebabnya Ancelotti senang jika tak ada pertandingan di tengah minggu. Dia bisa merancang program latihan yang cukup leluasa karena punya waktu sepekan penuh.

Perhatikan juga penjelasan metode latihan ala Jack Nayler, eks-asisten pelatih berpengalaman yang sekarang jadi Head of Sport Science di Glassgow Celtic, dalam buku “Training Secrets of the World’s Greatest Footballers: How Science is Transforming the Modern Game” (Bloomsbury Sport/2019). Metode latihannya diambil dari pengalamannya bekerja di Chelsea dan Real Madrid.

“Bagaimana jika ada pertandingan hari Rabu setelah bermain pada Minggu. Kami akan menjalani masa pemulihan dua hari (Senin-Selasa),” katanya.

Padahal jika sepekan penuh tidak ada pertandingan, Celtic biasanya latihan pemulihan usai pertandingan selama dua hari, latihan intensitas tinggi 75-90 menit selama dua hari, kemudian latihan persiapan selama 45-60 menit selama dua hari terakhir sebelum pertandingan.

Jadi, dengan membandingkan metode latihan di klub yang mapan dengan di Indonesia, jelas bahwa para pemain Indonesia memang tak mungkin melatih skill mereka (dilakukan dalam latihan intensitas tinggi) ketika jadwal pertandingan dan perjalanan begitu mepet.

Masa interval dari pertandingan ke pertandingan alhasil hanya diisi latihan kebugaran atau pemulihan. Tak ada drill skill, apalagi mematangkan taktik. Itu pun ketika bermain, stamina dan kesegaran fisik pemain cukup terbatas karena masa pemulihan yang pendek sehingga permainan tidak optimal.

Memang tidak semua pemain akan mengalami penurunan skill yang cepat. Saya, misalnya, salut pada Beto Goncalves yang masih tajam dan berbahaya walau usianya sudah 40 tahun alias renta untuk ukuran pemain (penyerang). Saya belum pernah melihatnya berlatih tapi yakin bahwa dia menjalani latihan ekstra dan bersikap selayaknya pemain profesional.

Seperti dikatakan (lagi) oleh Anceloti.

“Bagi saya, profesionalisme berkaitan dengan intensitas dalam latihan –intensitas fisik, tapi yang terpenting adalah intensitas mental.”

Jadi, saya yakin para pemain Indonesia secara umum mengalami skill yang terkebiri atau terbonsai, minimal secara tidak sadar. Itu sebabnya akan sulit berharap banyak dari para pemain yang skill-nya terbatas atau tidak terasah. Apalagi banyak pemain Indonesia muncul dari lapangan tarkam, bukan didikan klub atau proses yang yang baik seperti di SSB (ini pun potensi yang disia-siakan otoritas sepak bola).

Atau menurut coach Timo Scheunemann yang pernah saya wawancara; skill pemain Indonesia memang bagus, tapi mentah karena kurang gemblengan. Dalam bahasa yang lebih keren, under training. Itu sebabnya pula pelatih timnas Indonesia harus “repot” ketika mempersiapkan tim dengan melatih lagi skill dasar para pemain. Sebuah tindakan yang seharusnya bisa dilakukan di level klub.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.