Bayern München dan Krisis Pelatih Memikat

Seketika Bayern München menghadapi situasi darurat. Agak mengejutkan memang. Bagaimana mungkin klub super elite dari daratan Bavaria, Jerman, itu kesulitan mendapatkan pelatih baru untuk musim depan (2024-25).

Dari logika umum, bahkan awam, seharusnya klub seperti Bayern tidak akan kesulitan merekrut pelatih memikat. Bayern layaknya klub seperti Real Madrid, Barcelona, AC Milan, Manchester United, dan beberapa klub dengan nama besar lainnya. Pelatih manapun hampir bisa dipastikan berbaris rapi untuk menyambut tawaran 1 dari barisan klub besar itu.

Namun dunia selalu menyimpan kejutan. Apa yang mustahil justru bisa terjadi. Upaya Bayern mengontrak pelatih baru justru menemui penolakan. Xabi Alonso, pelatih rookie yang mengantar Bayer Leverkusen juara Bundesliga untuk pertama kali dan tanpa kalah, sudah menolak pinangan. Padahal orang Spanyol itu pernah bermain untuk Bayern.

Begitu pula Julian Nagelsmann. Pelatih 36 tahun ini menolak kembali ke klub yang pernah memecatnya pada Maret 2023. Nagelsmann memilih tetap bekerja di kursi pelatih kepala timnas Jerman. Penolakan juga diutarakan Ralf Rangnick, pelatih veteran Jerman yang mengambil opsi tetap menangani timnas Austria.

Lantaran sudah ditolak oleh 2 pelatih, Bayern memutuskan putar balik dengan mempertahankan Thomas Tuchel. Ironisnya, eks pelatih Dortmund dan Chelsea itu bulat untuk mundur akhir musim ini sesuai kesepakatan di Februari lalu. Ini keputusan logis. Siapa yang mau bertahan di 1 klub yang tadinya mencari penggantinya. Tuchel pasti menganggap dirinya cuma ban serep.

Kini Bayern kembali harus berburu pelatih baru. Persoalannya, Bayern punya 2 urusan. Pertama, internal klub harus berbenah dulu. Kedua, jumlah pelatih jagoan sedang terbatas.

Persoalan pertama disinyalir menjadi batu sandungan yang lumayan berpengaruh kepada para pelatih yang masuk incaran. Bayern mulai sering memecat pelatih, meski kinerjanya tidak buruk-buruk amat. Dalam tiga periode terakhir, Bayern punya tiga pelatih berbeda; Hansi Flick, Nagelsmann, dan Tuchel.

Perubahan loyalitas manajemen Bayern terhadap pelatihnya disebut akibat kekacauan di garis komando. Uli Hoeneß dan Karl-Heinz Rummenigge disebut rutin punya “hak” mencari dan menentukan pelatih. Padahal keduanya cuma penasehat klub, bukan pengurus harian. Runyamnya, dua senior itu sering pula beda pendapat. Pada 2008, misalnya. Hoeneß pingin menyewa Jürgen Klinsmann (yang kini menukangi timnas Korea), sementara Rummenigge kepincut pada Jürgen Klopp (yang segera menyelesaikan petualangannya di Inggris bersama Liverpool). Pada akhirnya Hoeneß yang “menang” dengan merekrut Niko Kovac, tapi Rummenigge tak legowo.

Persoalan itu diyakini belum beres. Direktur Sport Bayern yang baru, Max Eberl, semestinya bertanggung jawab penuh dalam pencarian dan penentuan pelatih. Tapi pejabat 50 tahun itu justru meminta Hoeneß dan Rummenigge tetap terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Situasi itu yang menyulitkan Bayern dalam berburu pelatih. Seolah-olah sang pelatih harus mengirim laporan ke 3 orang berbeda yang bisa jadi responsnya tak akan seragam.

Repotnya, saat ini sedang krisis pelatih dengan nama memikat. Generasi seperti pelatih Real Madrid Carlo Ancelotti (yang pernah memberi 3 gelar juara kepada Bayern) dan Jose Mourinho semakin sedikit, apalagi yang masih berprestasi. Yang jumlahnya relatif banyak saat ini adalah pelatih-pelatih muda dan kebanyakan belum bergelimang medali juara.

Dari Spanyol, selain Xabi Alonso, sebutlah Miguel Angel Sanchez Munoz alias Michel yang membawa tim gurem Girona ke posisi 3 La Liga musim ini dan berhak ke Liga Champions jika urusan permodalan silang dengan Manchester City bisa dibereskan. Mungkin ada pula Xavi yang kini berada di kursi pelatih Barcelona.

Atau dari Italia ada Thiago Motta yang baru mengantar tim medioker Bologna lolos ke Liga Champions untuk pertama kali setelah menduduki posisi 3 klasemen Serie A. Meski begitu, Motta sedang berpikir untuk tetap di Bologna atau menerima tawaran Juventus atau AC Milan. Bagaimana dengan Roberto De Zerbi? Walau sang Italiano akan meninggalkan Brighton and Hove Albion di Liga Inggris, Bayern justru tak tertarik.

Deretan pelatih yang memikat, jika acuannya prestasi, hampir pasti akan sulit ditemukan saat ini. Yang tersisa adalah para pelatih muda yang mungkin menjanjikan sebab punya sejumlah pencapaian masing-masing. Jadi, mau tak mau, Bayern sebaiknya mengubah pendekatan seperti halnya Leverkusen saat mempercayai Xabi Alonso. Tentu saja bukan asal rekrut tanpa modal data empiris, apalagi cuma pakai feeling. Kalau itu yang terjadi, ya namanya berjudi.

Ini masanya siklus baru pelatih yang muda seperti beberapa contoh di atas. Jika pelatih sering menyatakan “siap menerima tantangan”, kenapa sekarang klub seperti Bayern juga tak berani melakukan hal serupa? Toh, mereka sekarang sudah pengalaman gonta-ganti pelatih dalam waktu relatif cepat.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.