Bayern München dan Krisis Pelatih Memikat

Seketika Bayern München menghadapi situasi darurat. Agak mengejutkan memang. Bagaimana mungkin klub super elite dari daratan Bavaria, Jerman, itu kesulitan mendapatkan pelatih baru untuk musim depan (2024-25).

Dari logika umum, bahkan awam, seharusnya klub seperti Bayern tidak akan kesulitan merekrut pelatih memikat. Bayern layaknya klub seperti Real Madrid, Barcelona, AC Milan, Manchester United, dan beberapa klub dengan nama besar lainnya. Pelatih manapun hampir bisa dipastikan berbaris rapi untuk menyambut tawaran 1 dari barisan klub besar itu.

Continue reading “Bayern München dan Krisis Pelatih Memikat”

Links 1 – Mukadimah

Blog ini makin karatan. Jarang di-update selama hampir dua tahun terakhir. Bukan karena saya tak menulis. Tapi saya memindahkan landing page tulisan saya ke Yahoo! Indonesia, Detik Sport, Bolatotal, dan beberapa majalah.

Supaya tak makin keropos, blog ini mesti direformasi. Caranya dengan update tulisan pendek, ditambah links yang sudah dikurasi. Ya, saya kuratornya. Harusnya sih satu update per minggu. Dan…ya masih sepakbola. Semoga lancar. Dan inilah edisi pertama.

Duisburg akhirnya selamat. Klub berjuluk Zebras ini mengamankan lisensi (sebelumnya terancam turun ke liga regional) ikut divisi 3 Liga Jerman (3.Liga). Mereka sebenarnya kekurangan 600 ribu euro untuk memenuhi syarat 2 juta euro dana operasional untuk ikut 3.Liga. Beruntunglah, 2 klub dari kota tetangga, Schalke dan Dortmund, patungan memberi pinjaman 600 ribu euro itu.

Sepakbola Jerman belum mendominasi, tapi akan sukses*

Partai final Liga Champions ke-58 dinihari nanti (26/5) disebut sejumlah orang sebagai kebangkitan Jerman. Pertemuan Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund dinilai sebagai awal dominasi sepakbola Jerman di Eropa.

Tentu saja ini bisa didebat; bisa benar, bisa salah; tergantung dari mana kita melihatnya.

Faktanya, sepakbola Jerman memang tak pernah mendominasi di level klub di Eropa. Setidaknya, belum, dan mungkin akan. Atau kalau mau fair, sepakbola Jerman berada di bawah radar sehingga sangat sulit menilai apakah mereka sekuat yang diperkirakan atau tidak.

Muenchen pun sudah dua kali gagal dalam tiga final Liga Champions terakhirnya, meski mereka pernah merajai Eropa yang kala itu masih bernama Piala Champions selama tiga tahun beruntun; 1974-1976. Continue reading “Sepakbola Jerman belum mendominasi, tapi akan sukses*”

Jerman menatap asa*

Apa jadinya bila negara super power sepak bola sekelas Jerman babak belur di dua turnamen beruntun?

Piala Dunia 1998, Die Mannschaft gagal ke semifinal lantaran dicukur “negara baru jadi”, Kroasia, dengan skor 3-0. Pelatih Berti Vogts serta merta mengatakan sepakbola Jerman harus berbenah.

Namun alarm dini itu belum menyadarkan masyarakat Jerman. Dua tahun berikutnya, Euro 2000, Jerman tampil sebagai juara bertahan. Namun Jerman justru mendapat malapetaka sesungguhnya. Pasukan Erich Ribbeck terperosok di dasar klasemen Grup A akibat ditahan imbang Rumania serta takluk dari Inggris dan Portugal. Continue reading “Jerman menatap asa*”

Pelajaran dari Dortmund

Jika Anda bertanya pada orang Jerman tentang pertandingan mana yang harus ditonton, maka jawabannya St. Pauli — baik dengan maksud eksplisit atau sindiran. Tapi jika pertanyaannya dimodifikasi menjadi “di mana menonton sepakbola paling enak”, maka orang Jerman akan menunjuk Signal Iduna Park, kandangnya klub jawara Bundesliga musim ini — Borussia Dortmund. Yang ini, jawaban tulus, bukan sindiran.


Orang Jerman begitu menghormati Dortmund — tentu saja fans Schalke 04 belum tentu demikian, maklum, mereka adalah revierderby alias rival sewilayah. Derby mereka selalu panas. Tetapi secara umum, Dortmund adalah tolok ukur kesuksesan klub Jerman. Kesuksesan yang bukan hanya diukur dari deretan trofi di hall of fame mereka.

Continue reading “Pelajaran dari Dortmund”

Antara Jol, Hamburg dan Tottenham

Martin Jol dipecat Tottenham Hotspur bulan Oktober 2007. Alasannya, nggak berprestasi. Sekarang, meneer Belanda itu justru membawa Hamburg SV ke papan atas Bundesliga, bahkan sempat pula memimpin klasemen. Padahal Hamburg sudah sembilan tahun nggak pernah duduk di puncak klasemen Jerman.

Jol sebenarnya bukan pelatih ecek ecek. Walaupun juga belum sekelas Fabio Capello, Sir Alex Ferguson atau Jose Mourinho. Sewaktu ditarik ke Tottenham dulu, dia punya predikat pelatih terbaik Belanda dua tahun beruntun (bersama RKC Waalwijk). Jadi, katakanlah dia pelatih teratas untuk lapis dua Eropa. Dan harusnya bisa juga berprestasi di Tottenham karena klub London utara itu pun tim lapis dua Inggris. Continue reading “Antara Jol, Hamburg dan Tottenham”

Jadilah Tim Terburuk

Klub-klub Indonesia sulit dapat sponsor. Prestasi tak ada, kompetisi pun carut marut. Tidak gulung tikar dan masih bisa ikut tanding pun sudah untung.

Tapi jangan putus asa.

Mungkin klub Indonesia bisa belajar dari sebuah tim amatir Jerman, Germania Forchheim. Ini tim terparah yang pernah saya tahu. Dalam tujuh pertandingan awal musim ini, mereka sudah kebobolan 166 gol tanpa satu gol pun yang bisa dicetak. Mereka punya label “Tim terburuk Jerman”.

Si bos klub justru senang. Prestasi hancur justru dianggap bikin klub jadi terkenal. Kalah terus malah membuat orang jadi penasaran dan bisa mengundang sponsor.

Entah apakah klub itu sekarang sudah dapat sponsor atau belum. Andai saya pengusaha, saya tertarik menjadi sponsor mereka. Tapi tentu nilainya jangan terlalu besar. Kepopuleran tim itu karena kalah terus bisa menguntungkan buat sponsor. Sponsor bisa ikut terseret dikenal. Benar-benar sebuah anti tesis.

Tentu itu terjadi karena di Jerman. Saya nggak akan mau menjadi sponsor di Indonesia. Kompetisi di sini belum beres. Lalu, andai anda pengusaha, maukah mendukung tim Germania Forccheim?