Paris Saint-Germain Belum Kompetitif

Paris Saint-Germain (PSG) dipaksa kembali ke kenyataan bahwa mereka masih belum cukup sakti di kompetisi elite Liga Champions Eropa (UCL). Terbaru, tadi pagi (WIB), PSG menyerah 0-1 kepada Borussia Dortmund di semifinal sehingga kalah agregat 0-2.

Kekalahan itu seolah ingin menegaskan bahwa PSG belum cukup kompetitif untuk bersaing di pentas elite sekelas Liga Champions. PSG selama ini kesulitan untuk menembus partai final. Dan ketika mereka mencapai final untuk pertama kali pada musim 2019-2020, trofi kuping lebar khas UCL pun gagal digapai.

Secara natural, sebenarnya PSG punya segala ramuan untuk mencapai gelar juara di UCL. Bahkan sejak berubah status menjadi klub super kaya usai dibeli Qatar Sports Investments (QSI) pada 2011, PSG selalu disebut sebagai penantang gelar juara UCL mulai 2012. Tentu saja, dengan uang minyak Qatar yang seolah tanpa limit, mereka bisa mengangkut pemain kelas 1 dan sekaligus pelatih taraf atas beserta para stafnya.

Namun faktanya tidak selalu bergaris lurus. Ingat, tak ada formula pasti di sepak bola. Betul bahwa klub yang bergelimang uang bisa bergerak lebih leluasa untuk belanja pemain dan pelatih bermutu, serta kemudian menjadi juara sesuai harapan. Tapi tidak selamanya formula itu bekerja mulus. Ya PSG adalah contoh tulennya.

Coba lihatlah jajaran pemain yang pernah membela PSG mulai 2012. Antara lain Lionel Messi, Zlatan Ibrahimovic, Neymar Jr, Edinson Cavani, dan Angel Di Maria. Kita tentu mustahil menyebut mereka bukan pemain depan kelas atas pada masanya. Dan saat ini PSG masih punya Kylian Mbappe, pemain depan paling diminati di bursa transfer saat ini. Tetapi PSG cuma gagal dan gagal lagi di UCL.

Kenapa bisa begitu?

Saya pikir jawabannya adalah daya saing mereka tidak cukup terasah di liga domestik. Sejak 2012, PSG nyaris tak menemui kompetitor sepadan di Ligue 1. Les Parisiens menjadi juara 10 kali, bahkan akan menjadi 11 kali dalam 12 tahun terakhir saat musim 2023-2024 berakhir 2 minggu lagi.

Tentu saja bakal sulit bagi siapapun di Ligue 1 untuk mencundangi PSG di jalur juara. Dengan skuad berisi para pemain kelas 1, PSG kelebihan senjata untuk bertarung di Ligue 1. Mungkin levelnya unggul minimal setengah di atas 17 klub lain di Ligue 1.

Akibatnya, persaingan setara di papas atas Ligue 1 hampir tidak terwujud. Cuma ada 2 momen PSG tersedak di jalur juara, yaitu AS Monaco pada musim 2016-2017 dan Lille pada periode 2020-2021. Momen Monaco juara Ligue 1 bersama Mbappe pun memicu PSG untuk memboyong sang “anak ajaib” ke Paris dengan harkat termahal di dunia (180 juta euro) kala itu.

Kondisi yang tak setara di jalur persaingan domestik itu justru menjadi bumerang bagi PSG. Mereka ibarat ikan besar tapi berada di kolam yang berisi para rival kecil. PSG nyaris tidak menemui perlawanan ketat dari pekan ke pekan di Ligue 1 sehingga kualitas bermain mereka menjadi klise untuk dibawa ke persaingan di luar Prancis.

Di skala berbeda, para atlet individu Indonesia sering kesulitan bersaing di pentas global. Penyebabnya antara lain mereka terlalu piawai di ajang domestik sehingga kualitasnya tidak cukup terasah untuk bersaing di kancah global. Ada disparitas kualitas yang cukup besar di dalam negeri. Persis seperti yang dialami PSG di Ligue 1.

Dalam konteks Indonesia, cuma bulutangkis yang berbeda. Para pebulutangkis Indonesia relatif masih bisa bersaing di papan atas dunia karena setiap hari juga berlatih dengan rekan sejawat yang kualitasnya setara, walau belakangan sedang susah payah juga untuk juara di berbagai turnamen series.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.