Sepakbola Jerman belum mendominasi, tapi akan sukses*

Partai final Liga Champions ke-58 dinihari nanti (26/5) disebut sejumlah orang sebagai kebangkitan Jerman. Pertemuan Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund dinilai sebagai awal dominasi sepakbola Jerman di Eropa.

Tentu saja ini bisa didebat; bisa benar, bisa salah; tergantung dari mana kita melihatnya.

Faktanya, sepakbola Jerman memang tak pernah mendominasi di level klub di Eropa. Setidaknya, belum, dan mungkin akan. Atau kalau mau fair, sepakbola Jerman berada di bawah radar sehingga sangat sulit menilai apakah mereka sekuat yang diperkirakan atau tidak.

Muenchen pun sudah dua kali gagal dalam tiga final Liga Champions terakhirnya, meski mereka pernah merajai Eropa yang kala itu masih bernama Piala Champions selama tiga tahun beruntun; 1974-1976.

Tapi sejak itu, wakil Jerman hanya meraih tiga trofi Liga Champions dari 11 kali masuk ke final: Hamburg pada 1983, Dortmund (1997), dan Muenchen (2001).

Jumlah itu jelas kalah dibandingkan para rivalnya di Eropa. Selama 37 tahun itu, wakil Inggris mengumpulkan 11 trofi dari 17 kali final. Italia dengan jumlah final yang sama seperti Inggris, meraih delapan trofi. Sedangkan Spanyol dengan raksasa Barcelona dan Real Madrid serta diselingi oleh Valencia mengamankan tujuh piala dari 12 kesempatan.

Bundesliga pun mengakui bahwa klub-klub mereka belum sekuat yang dikira orang. “Kami bangga ada All German final. Tapi itu bukan berarti 18 tim di Bundesliga juga punya level yang sama.

“Sudah 10 tahun ini kami mempertanyakan mengapa tim Jerman tak mampu menjuarai ajang itu. Namun, kami sudah melakukan pendekatan yang benar. Tidak ada yang salah, kata Christian Seifert, CEO Bundesliga.

“Pendekatan yang benar” dari Siefert adalah bagaimana klub Jerman dijalankan, baik tehnik maupun non tehnik. Industri sepakbola Jerman begitu sehat sehingga fokus membina pemain muda, baik melalui 121 pusat pembibitan nasional maupun di Bundesliga, tidak teralihkan. Itu sebabnya, jangan heran melihat barisanstarter Muenchen dan Dortmund nanti hanya ada dua pemain dengan usia berkepala tiga.

Boleh jadi, dominasi Jerman saat ini berada di sektor manajerial industri sepakbola. Bahkan Inggris, Italia, dan Spanyol pun mengakuinya dan dengan “berat hati” ingin menirunya. Para ahli manajemen dan pemasaran di Eropa juga ramai-ramai memuji. Yang pasti, klub Jerman tak akan pernah mengandalkan pemasukan dari hak siar televisi. Itu penting, tapi tidak serta merta yang utama. Mereka mengambil pelajaran dari bangkrutnya pemegang hak siar Bundesliga, Kirch TV, pada 2002 sehingga sumber pemasukan klub terganggu.

Klub Jerman bergerak dan melakukan sinergi dengan berbagai perusahaan lokal Jerman. Klub enggan menggandeng perusahaan global. Tentu saja sebuah kebijakan yang logis karena Jerman punya banyak perusahaan kelas dunia. Klub pun mudah menarik sponsor dari dalam negeri karena nama besar para petingginya yang merupakan mantan legenda sepakbola Jerman, terutama Muenchen.

Klub Jerman juga fobia pada utang. Dalam operasionalnya, mereka tak akan pernah besar pasak dari tiang. Klub juga tak mau membebani suporternya. Klub justru menerapkan subsidi ke penonton; murah di tiket, mahal di paket sponsor. Dengan kata lain, sponsor yang menutup biaya suporter.

Dari sektor tiket penonton, misalnya, data Deloitte Football Money 2012 menunjukkannya. Tiket musiman termurah Muenchen, sebagai klub terkaya di Jerman, hanya 78 euro. Bandingkan dengan Manchester United (620 euro), Juventus (340 euro), dan Barcelona (200 euro). Rata-rata harga tiket termurah di Bundesliga adalah 12 euro. Di Inggris, 30 euro.

Bahkan di tribun berdiri, yang di Inggris tidak ada, suporter Muenchen hanya perlu membayar 15 euro dan fans Dortmund hanya merogoh 12 euro. Istimewanya, dengan biaya murah di die Sudtribune (tribun selatan) yang terbesar di Eropa, fans Dortmund bisa leluasa membentuk die gelbe wand atau barisan tembok kuning lengkap dengan koreografi sebelum pertandingan.

Dari sektor keuangan klub, Jerman juga boleh berbangga. Seluruh klub Bundesliga meraih untung. Bandingkan dengan mayoritas klub Inggris yang berjalan di atas kerugian. Kebijakan anti besar pasak daripada tiang itulah yang menopang. Rasio biaya gaji pemain hanya 38% dari penghasilan klub Jerman. Di Inggris, misalnya, mencapai 67% dan bahkan pernah mencapai di atas 93%.

Sejak musim 2011/2012, Bundesliga mencatat rekor baru dengan meraih keuntungan hampir 2,1 miliar euro. Tiket penonton menyumbang 440 juta euro. Data Deloitte per 2011 menunjukkan pendapatan Muenchen 368 juta euro, tak berbeda jauh dengan Manchester United yang 395 juta euro. Perbedaannya, 55% pendapatan Bayern datang dari para sponsor, sedangkan MU hanya 37%. Memang ironis, klub Inggris menjadikan suporter sebagai sumber pemasukan klub melalui tiket pertandingan.

Tapi apakah klub Jerman tidak memanfaatkan suporternya? Tentu saja, tapi dalam konotasi positif. Misalnya dari faktor suvenir dan barang dagangan (merchandise). Dan orang Jerman dikenal royal pada merchandise klub. “Suvenir menjadi barang penting bagi suporter, terutama replika jersey. Dengan jersey, suporter menemukan rasa kebersamaan dan rasa memiliki pada tim,” kata Profesor Jan Wiseke, guru besar Universitas Bochum.

Musim lalu, Muenchen menjual merchandise terbanyak dari seluruh tim Jerman dengan pemasukan 57 juta euro. Dortmund, yang punya 1.000 jenis merchandise, meraih keuntungan 30 juta euro dengan dominasi dari jersey replika sebanyak 300 ribu unit berharga satuan 75 euro. Dortmund juga punya terobosan dalam menjual merchandise, yakni pemanggang roti (toaster) seharga 30 euro. Ini toaster istimewa. Bukan hanya warnanya yang serba kuning, tapi juga roti yang sudah terpanggang akan memiliki siluet logo Dortmund di tengahnya.

“Kami bergerak dengan benar. Sekarang penjualan merchandise kami sudah mencapai dua digit,” kata Carsten Kramer, direktur pemasaran Dortmund.

Pasar merchandise klub Jerman juga tumbuh cepat berkat peningkatan jumlah perempuan suporter yang musim lalu mencapai 14 juta orang. Itu sebabnya, beberapa merchandise difokuskan untuk perempuan suporter. Misalnya, Schalke 04 yang memproduksi pewarna kuku senada dengan warna kostum biru tim. Atau Bayern yang menjual bikini bernuansa merah kostum “FC Hollywood”. Musim lalu, perempuan suporter menyumbang 26% ke dalam pemasukan klub dari merchandise.

Kekuatan suporter Jerman yang loyal, seperti juga fans seperti biasanya, itu juga terlihat menjelang pertandingan di Wembley, London, nanti. Lihatlah bagaimana 500 ribu aplikasi tiket onlinedatang dari suporter Dortmund. Padahal Muenchen maupun Dortmund sama-sama hanya mendapat kuota tiket 25 ribu dari UEFA.

Pada akhirnya, partai final nanti adalah pertemuan kedua klub yang sehat secara keuangan, pintar dalam manajerial industri sepakbola, dan atraktif dalam permainan. Seperti orang Jerman bilang, sepakbola mereka belum sukses, tapi mendekati sukses. Close, but not cigar.

*Artikel ini terbit pertama kali di Detikcom, 25 Mei 2013.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.