Gengsi Piala Dunia

Piala Dunia tak lagi istimewa. Ia tak lagi jadi sentra perhatian utama karena daya tariknya sudah setara dengan Liga Champions atau bahkan liga-liga domestik di Eropa.

Setidaknya itu saya lihat sejak edisi 2010. Piala Dunia memang masih diikuti dan ditunggu, tapi kadarnya tidak lagi di atas Liga Champions atau pentas klub (profesional). Bukan top of the best.

Piala Dunia tidak lagi dipandang istimewa pun bisa dilihat pada edisi 2018 ini. Spanyol memecat pelatih Julen Lopetegui ketika kick-off hanya berselang dua hari.

Atau Jepang mengganti pelatih ketika Piala Dunia berjarak dua bulan. Ada kesan Piala Dunia menjadi turnamen asal lewat saja bagi beberapa tim. Padahal federasi sepak bola biasanya lebih baik menjaga suasana kondusif tim, apalagi menjelang Piala Dunia.

Maklum, pergantian pelatih berarti turbulensi. Pemain dan pelatih butuh waktu untuk beradaptasi. Biar pun tim sekelas Spanyol berisi pemain kelas satu sekalipun.

Di ajang klub, preseden ini ada. Namun, andai terjadi, itu pada saat mendekati final turnamen domestik. Misalnya seperti Piala Liga atau Piala negara.

Tetapi belum ada klub sekelas Real Madrid yang berani mengganti pelatih saat final Liga Champions mendekat dalam dua hari. Pertaruhannya begitu besar.

Ini semua membuktikan bahwa Piala Dunia hanya dilihat sebagai turnamen bergengsi biasa, tidak lagi paling bergengsi. Bahkan langkah Madrid yang merekrut Lopetegui pun seolah mengafirmasi bahwa kesakralan Piala Dunia mulai meredup.

Merekrutnya dan mengumumkannya tidak salah, melainkan sah. Madrid punya kepentingan (terhadap sponsor atau mitra bisnis lain) untuk mengumumkan pelatih baru.

Yang jelas, Madrid mengabaikan timnas Spanyol sebagai induk administrasi mereka. Madrid tak peduli dengan suasana Spanyol di Piala Dunia. Ada urusan etiket di sini.

Dan ini dilengkapi oleh “kemarahan” Luis Rubiales, sang presiden federasi sepak bola Spanyol. Bahkan sah juga jika mau menyebut Rubiales punya agenda politik atau egois, misalnya.

Menjadi layak pula untuk menyebut bahwa Rubiales sebodo amat dengan peluang Spanyol di Rusia karena yang paling penting adalah membalas langkah tidak etis Madrid dan Lopetegui. Ini yang disesali jurnalis Marca, Santi Siguero.

Tapi bagi saya, langkah Rubiales adalah mendegradasi Piala Dunia. Dan ini membuktikan bahwa pesta sepak bola dunia itu mulai kehilangan pamor agung.

Nilai Piala Dunia yang tak lagi sakral juga bisa dilihat pada keputusan Fabio Coentrao. Pemain Madrid ini meminta dicoret dari skuat Portugal untuk ke Piala Dunia 2018.

Alasannya memang masuk akal dan manusiawi. Dia kelelahan dan merasa tak mungkin bisa berkontribusi cukup terhadap langkah Portugal di Rusia–yang kebetulan berada satu kelompok dengan Spanyol di Grup B.

Namun di balik keputusan Coentrao, alasan kelelahan masih bisa diperdebatkan. Betul bahwa kelelahan tak akan berdaya guna pada permainan. Tapi bukankah semua pemain dari tim utama mengalami kelelahan yang sama?

Mereka baru saja bermain selama 9 bulan bersama kompetisinya masing-masing. Bohong bila tak lelah. Cristiano Ronaldo (Portugal), Harry Kane (Inggris), atau Christian Erikssen (Denmark) misalnya. Mereka semua pasti kelelahan setelah menjalani kompetisi yang cukup tinggi intensitasnya.

Namun, dunia olahraga masa kini sudah dipenuhi dengan kemajuan teknologi kesehatan atau kebugaran. Manajemen timnas pasti punya cara mengatasi kelelahan fisik para pemainnya, mereka sadar itu. Apalagi jika kelelahan pun bisa memicu cedera.

Keputusan Coentrao tidak salah, bahkan bisa jadi mentalnya pula yang cukup lelah. Karena bila mentalnya kuat, Coentrao pasti akan berjuang untuk memulihkan diri demi tampil di Piala Dunia.

Ini membuktikan bahwa Piala Dunia tak lagi layak untuk diperjuangkan, setidaknya bagi Coentrao. Ada penurunan nilai agung Piala Dunia, ada gengsi yang turun.

Untungnya, di tengah penurunan gengsi Piala Dunia, mereka yang ke sana tentu akan menikmatinya dan bahkan memberi warna serta tetap meramaikan. Simaklah pernyataan Carlos Queiroz, pelatih Iran yang orang Portugal.

Queiroz menyebut Piala Dunia adalah kebanggaan. Tentu saja kebanggaan bagi Iran dan masyarakatnya.

Piala Dunia kini memang lebih bergengsi bagi negara-negara gurem, bagi tim-tim non-tradisional. Sebutlah seperti Peru, Panama, Maroko, Mesir, Tunisia, atau Islandia.

Bagi para negara dan pemain dari tim-tim seperti itu, Piala Dunia adalah panggung mereka. Panggung unjuk kebolehan, kebanggaan, dan prestise.

Maklum, kebanyakan dari mereka bukan pemain yang lazim bermain di panggung-panggung sepak bola mapan macam Liga Champions atau Liga Europa. Piala Dunia menjadi panggung yang layak dinikmati dan disyukuri. Apalagi jalan menuju ke putaran final pun tak mudah.

Dan ini sejalan dengan langkah FIFA yang kebetulan makin fokus pada negara-negara semenjana–bila tidak mau disebut negara kecil (dalam urusan sepak bola). Langkah FIFA untuk menambah peserta menjadi 48 tim mulai Piala Dunia 2026 adalah keputusan strategi sekaligus politis.

FIFA kemungkinan besar tahu bahwa pamor Piala Dunia hanya bisa diselamatkan dengan melibatkan banyak negara, terutama dari negara-negara kelas tiga.

Sementara bagi penonton seperti kita, ya mari menikmati saja. Terlalu sayang untuk melewati tontonan pesta sepak bola dunia yang cuma empat tahun sekali.

Lagi pula, melalui Piala Dunia, kita bisa membaca apa yang lagi tren atau menduga apa tren permainan macam apa ke depan. Sedikit banyak, dia tetap menjadi barometer–walau tidak lagi satu-satunya.

Selamat datang Piala Dunia 2018.

2 thoughts on “Gengsi Piala Dunia

  1. ada yg bilang penerapan teknologi macam VAR dan detektor gol mengurangi drama dan kontroversi, sehingga membuat pertandingan “kurang manusiawi”

    gimana menurutmu, sam? 😁😁

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.